Senin, 12 Desember 2011

Ketika Generasi Broken Home Beranjak Dewasa

ika kita mendengar orang-orang tua kita bercerita tentang masa kecil mereka, tentu akan kita dapati bahwa mereka adalah generasi yang dilahirkan di mushola-mushola dan surau-surau. Berbekal obor sebagai penerang, setiap malam mereka memenuhi rumah-rumah Allah dengan kajian ilmu-ilmu agama.
Dan tahukah anda cerita masa kecil dari generasi Broken Home? Cerita itu adalah tentang tawuran remaja, ganja, minuman keras, buku-buku dan film biru, serta sejumlah kenangan lain yang membuat siapapun yang masih memiliki hati nurani menjadi miris. Dan generasi tersebut menjadi bagian dari para pewaris negeri ini!

Dapatkah anda membayangkan apa yang akan terjadi jika negeri ini dipenuhi oleh orang-orang yang menyimpan kebencian-kebencian? Kebencian yang tak mereka sadari karena kebencian itu telah berubah menjadi prilaku dan sikap hidup?
Yang terjadi adalah semua kengerian yang kita saksikan saat ini. Di kalangan elit bermunculan politikus-politikus yang telah putus urat malunya. Di kalangan ilmuwan lahir para pemikir keblinger yang berpikir dengan dengkul mereka. Memerlakukan kitab suci seperti bungkus kacang goreng namun malah menjadikan buku-buku cabul sebagai referensi utama. Memosisikan para tokoh dunia yang telah melahirkan peradaban sebagai orang bodoh dan terbelakang, padahal mereka tak pernah menciptakan suatu karya yang dapat memperbaiki (bahkan) sebuah keluarga saja. Di kalangan selebritis mereka memasok tubuh-tubuh murah sebagai komoditi utama. Sementara akal sehat dan nilai-nilai kebaikan mereka buang jauh-jauh. Sementara di kalangan grassroot bermunculan katak-katak menyedihkan yang berusaha menggelembungkan tubuh mereka agar bisa menjadi lembu.
Nyaris tak ada puji-pujian dan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang Ia berikan untuk negeri ini. Yang ada adalah keluh kesah, caci maki, sumpah serapah dan sejuta kata-kata kotor yang telah memenuhi udara di negeri ini.
Kita adalah orang-orang bodoh yang membenci air di dalam baskom. Kita pukul sekeras-kerasnya air itu untuk melampiaskan kekesalan, namun kita semakin basah kuyup dibuatnya.
Kita adalah orang-orang tolol yang mengutuk rumah kita yang buruk. Lantas kita siram rumah itu dengan minyak dan kita bakar seluruhnya. Ketika api makin menyala, kita terperanjat karena sadar bahwa kita masih berada di dalam rumah.
Dan yang lebih mengerikan, kita tak menyadari bahwa prilaku buruk kita terekam baik-baik oleh jutaan pasang mata dan tersimpan di memori mereka yang terdalam.
Mata itu adalah mata adik-adik saya… Mata itu adalah mata anak-anak anda… Dan memori itu adalah memori generasi penerus kita.
Mereka saat ini mungkin cuma diam, karena mereka belum sepenuhnya memahami apa yang tengah dilakukan oleh ayah, ibu dan kakak-kakak mereka. Adik-adik saya ini, anak-anak Anda ini, mereka benar-benar lahir dari sebuah keadaan yang carut marut. Kepolosan mereka diisi sepenuhnya dengan keburukan-keburukan yang kakak dan orang tuanya lakukan.
Dan ibarat kertas putih, otak mereka kini sedang dipenuhi oleh coretan-coretan kotor, tumpahan minyak, oli, lumpur, dan segala hal yang akan menjadi kesan ketika mereka dewasa.
Oh… Sungguh mengerikan seandainya dua puluh tahun dari sekarang generasi semacam itu menjadi pemimpin di negeri ini. Ketika ada kunjungan kenegaraan dari negara-negara sahabat, mungkin mereka akan menyambut para tamu itu dengan pembacaan puisi dan tarian erotis oleh penyair wanita yang telanjang. Minuman yang disuguhkan adalah vodka, dan menu makan siangnya adalah kokain dan sayur ganja. Ketika para tamu itu pulang, mereka akan menikam dari belakang dan hartanya mereka rampas kemudian mereka pakai bersenang-senang.
Tentu saja ketika ada orang-orang hanif bertanya tentang prilaku mereka, dengan santainya mereka menjawab,
“Kami mendapati orang tua kami mengerjakan hal ini, dan Tuhan menyuruh kami mengerjakannya—padahal sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh mengerjakan perbuatan keji[1].”
Dan semua ini tidak mustahil terjadi, kecuali jika Anda memperbaikinya saat ini. Apakah Anda mau peristiwa itu terulang lagi, meski dengan nama yang berbeda?
Mungkin mereka tidak akan menamakan diri Generasi Broken Home, karena keburukan itu bukan karena mereka diabaikan orang tuanya, melainkan orang tuanyalah yang mengajari mereka. Mungkin saja mereka akan menamakan diri Mu’tadin Atsiim—Generasi Pendosa yang Melampaui Batas. Na’udzu billahi min dzalik
Mari kita berbenah dan berpikir tentang masa depan…
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Lihatlah Al Qur’an surat Al A’raf ayat 28.


Sumber : http://rickyfirman.wordpress.com/2009/11/10/ketika-generasi-broken-home-beranjak-dewasa-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bloger yang baik akan meninggalkan komentar yang baik dan membangun...

terimakasih........

kategori

Senin, 12 Desember 2011

Ketika Generasi Broken Home Beranjak Dewasa

ika kita mendengar orang-orang tua kita bercerita tentang masa kecil mereka, tentu akan kita dapati bahwa mereka adalah generasi yang dilahirkan di mushola-mushola dan surau-surau. Berbekal obor sebagai penerang, setiap malam mereka memenuhi rumah-rumah Allah dengan kajian ilmu-ilmu agama.
Dan tahukah anda cerita masa kecil dari generasi Broken Home? Cerita itu adalah tentang tawuran remaja, ganja, minuman keras, buku-buku dan film biru, serta sejumlah kenangan lain yang membuat siapapun yang masih memiliki hati nurani menjadi miris. Dan generasi tersebut menjadi bagian dari para pewaris negeri ini!

Dapatkah anda membayangkan apa yang akan terjadi jika negeri ini dipenuhi oleh orang-orang yang menyimpan kebencian-kebencian? Kebencian yang tak mereka sadari karena kebencian itu telah berubah menjadi prilaku dan sikap hidup?
Yang terjadi adalah semua kengerian yang kita saksikan saat ini. Di kalangan elit bermunculan politikus-politikus yang telah putus urat malunya. Di kalangan ilmuwan lahir para pemikir keblinger yang berpikir dengan dengkul mereka. Memerlakukan kitab suci seperti bungkus kacang goreng namun malah menjadikan buku-buku cabul sebagai referensi utama. Memosisikan para tokoh dunia yang telah melahirkan peradaban sebagai orang bodoh dan terbelakang, padahal mereka tak pernah menciptakan suatu karya yang dapat memperbaiki (bahkan) sebuah keluarga saja. Di kalangan selebritis mereka memasok tubuh-tubuh murah sebagai komoditi utama. Sementara akal sehat dan nilai-nilai kebaikan mereka buang jauh-jauh. Sementara di kalangan grassroot bermunculan katak-katak menyedihkan yang berusaha menggelembungkan tubuh mereka agar bisa menjadi lembu.
Nyaris tak ada puji-pujian dan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang Ia berikan untuk negeri ini. Yang ada adalah keluh kesah, caci maki, sumpah serapah dan sejuta kata-kata kotor yang telah memenuhi udara di negeri ini.
Kita adalah orang-orang bodoh yang membenci air di dalam baskom. Kita pukul sekeras-kerasnya air itu untuk melampiaskan kekesalan, namun kita semakin basah kuyup dibuatnya.
Kita adalah orang-orang tolol yang mengutuk rumah kita yang buruk. Lantas kita siram rumah itu dengan minyak dan kita bakar seluruhnya. Ketika api makin menyala, kita terperanjat karena sadar bahwa kita masih berada di dalam rumah.
Dan yang lebih mengerikan, kita tak menyadari bahwa prilaku buruk kita terekam baik-baik oleh jutaan pasang mata dan tersimpan di memori mereka yang terdalam.
Mata itu adalah mata adik-adik saya… Mata itu adalah mata anak-anak anda… Dan memori itu adalah memori generasi penerus kita.
Mereka saat ini mungkin cuma diam, karena mereka belum sepenuhnya memahami apa yang tengah dilakukan oleh ayah, ibu dan kakak-kakak mereka. Adik-adik saya ini, anak-anak Anda ini, mereka benar-benar lahir dari sebuah keadaan yang carut marut. Kepolosan mereka diisi sepenuhnya dengan keburukan-keburukan yang kakak dan orang tuanya lakukan.
Dan ibarat kertas putih, otak mereka kini sedang dipenuhi oleh coretan-coretan kotor, tumpahan minyak, oli, lumpur, dan segala hal yang akan menjadi kesan ketika mereka dewasa.
Oh… Sungguh mengerikan seandainya dua puluh tahun dari sekarang generasi semacam itu menjadi pemimpin di negeri ini. Ketika ada kunjungan kenegaraan dari negara-negara sahabat, mungkin mereka akan menyambut para tamu itu dengan pembacaan puisi dan tarian erotis oleh penyair wanita yang telanjang. Minuman yang disuguhkan adalah vodka, dan menu makan siangnya adalah kokain dan sayur ganja. Ketika para tamu itu pulang, mereka akan menikam dari belakang dan hartanya mereka rampas kemudian mereka pakai bersenang-senang.
Tentu saja ketika ada orang-orang hanif bertanya tentang prilaku mereka, dengan santainya mereka menjawab,
“Kami mendapati orang tua kami mengerjakan hal ini, dan Tuhan menyuruh kami mengerjakannya—padahal sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh mengerjakan perbuatan keji[1].”
Dan semua ini tidak mustahil terjadi, kecuali jika Anda memperbaikinya saat ini. Apakah Anda mau peristiwa itu terulang lagi, meski dengan nama yang berbeda?
Mungkin mereka tidak akan menamakan diri Generasi Broken Home, karena keburukan itu bukan karena mereka diabaikan orang tuanya, melainkan orang tuanyalah yang mengajari mereka. Mungkin saja mereka akan menamakan diri Mu’tadin Atsiim—Generasi Pendosa yang Melampaui Batas. Na’udzu billahi min dzalik
Mari kita berbenah dan berpikir tentang masa depan…
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Lihatlah Al Qur’an surat Al A’raf ayat 28.


Sumber : http://rickyfirman.wordpress.com/2009/11/10/ketika-generasi-broken-home-beranjak-dewasa-1/

 
By : Dhewi | RENUNGAN