Kamis, 26 Januari 2012

Adik

Aku cuma punya seorang adik. Usianya tiga tahun lebih muda daripada aku. Suatu hari,
untuk ingin membeli sehelai sapu tangan yang menjadi keperluan anak gadis ketika itu, aku ambil 50 sen dari saku baju ayah.
Sore itu, setelah pulang dari sekolah - ayah memanggil kami berdua.
Dia meminta aku dan adik berdiri di tepi dinding. Aku bergetar melihat rotan yang panjangnya sedepa di tangan ayah.

"Siapa yang mengambil uang ayah?" tanya ayah bagai singa lapar. Aku langsung tidak berdaya malihat tatapan tajam mata ayah.
Kami berdua membisu, cuma tunduk memandang lantai.
"Baik, kalau tak ada yang mengaku, dua-duanya akan ayah pukul!" sambung ayah sambil mengangkat tangan untuk melepaskan pukulan pertamanya ke punggungku.
Tiba-tiba, adik menangkap tangan ayah dengan kedua belah tangannya sambil berkata,

"Saya yang ambil!" Belum sempat adik menarik nafas selepas mengungkapkan kata-kata itu,
ayunan dan pukulan silih berganti menghantam tubuh adik. Aku gamam, lidah kelu untuk bersuara.
Walau perit menahan sakit, setitis pun airmata adik tak tumpah.
Setelah puas melihat adik terjatuh di lantai, ayah berkata: "Kamu sudah mulai belajar mencuri di rumah sendiri.
Apa lagi perbuatan mu yang akan memalukan ayah di luar kelak?" Malam itu, ibu dan aku tak lepas-lepas memeluk adik.
tubuhnya kecilnya yang dipenuhi bekas-bekas pukulan kami obati.
Namun adik cukup tabah. Setetes pun air matanya tidak mengiringi kesakitan yang dia alami

Melihat keadaan itu, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya, kesal dengan sikap ku yang takut berkata benar.
Adik segera menutup mulutku dengan kedua belah tangannya lalu berkata,
"Jangan menangis kak, semuanya sudah berakhir!". Aku mengutuk diri sendiri karana tidak mampu membela adik.

Tahun bersilih ganti, peristiwa adik dipukul karana mempertahankan ku bagaikan baru semalam berlaku. Adik mendapat tawaran belajar ke sekolah berasrama dan aku pun ditawarkan melanjtkna sekolah ke universitas. Malam itu ayah duduk di bawah cahaya lampu minyak tanah bersama ibu di ruang tamu. Aku mendengar ayah berkata, "bu, kedua anak kita cemerlang dalam pelajaran. ayah bangga sekali!" "Tapi apalah artinya yah...!" aku mendengar ibu teresak-esak. "Dimana kita mau cari uang untuk membiayai mereka?"

Ketika itulah adik keluar dari kamarnya. Dia berdiri di depan ayah dan ibu. "Ayah, saya tak mau ke sekolah lagi!" Perlahan-lahan ayah bangun, membetulkan ikatan kain sarungnya dan melihat wajah ibu, kemudian wajah adik dalam-dalam. Plaaaak....sebuah tamparan mendarat di pipi adik. Seperti biasa yang mampu aku lakukan ialah menutup muka dan menangis."Kenapa kamu ini?kau tahu, kalau ayah terpaksa mengemis untuk sekolah mu, ayah akan lakukan!" "seorang lelaki harus bersekolah. Kalau tidak, dia takkan dapat membawa keluarganya keluar dari kemiskinan," aku memeluk adik tatkala mengolesi minyak pada pipinya yang bengkak. "Kakak perempuan...biarlah kakak yang berhenti."
Tak ada yang menyangka, pagi harinya adik tak ada dikamarnya. Dia membawa beberapa helai baju lusuh yang dia punya. Diatas kasur tempat dia memejamkan mata, terdapat sehelai kertas yang tertulis..... "Kak...untuk dapat peluang ke universitas tidaklah mudah. Saya akan cari kerja dan akan kirim uang buat kakak." Apa lagi yang saya tahu selain menangis. Ayah termenung, jelas dia cukup kecewa. Begitu juga ibu yang hanya mampu menangis.

Suatu pagi ketika berada di asrama, teman sekamar berkata: "Ada pemuda kampung menunggu kamu diluar!" "Pemuda kampung?" bisikku. "Siapa?" Tergesa-gesa aku keluar kamar. Dari jauh aku melihat adik berdiri dengan pakaian comotnya yang dipenuhi lumpur dan semen. "Kenapa bilang orang kampung, bilanglah adik yang datang!" Sambil tersenyum dia menjawab, "Akak lihatlah pakaian adik. Apa yang akan teman-teman kakak bilang kalau mereka tahu saya adik kakak?" Jantungku terasa berhenti berdenyut mendengarkan jawabannya. Aku cukup tersentuh. Tanpa sadar, air jernih mengalir di pipi. Aku kibas-kibas pasir dan tumpukan semen pada pakaian adik. Dalam suara antara dengar dan tidak, aku berkata, "kakak tak peduli apapun yang orang lain bilang." Dari dari kantongnya, adik mengeluarkan jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Dia mengenakan pada rambutku sambil berkata, "Kak, saya lihat banyak gadis pakai jepit seperti ini, saya beli satu untuk kakak." Aku kaku. Sepatah kata pun tak terucap. Aku rangkul adik dan dadanya dibasahi air mataku yang tak dapat ditahan-tahan.

Tamat semester, aku pulang ke kampung sementara menunggu pengumuman. Aku lihat lantai dan dinding rumah bersih, tak seperti dulu. "Emak, tak cape kerja terus membersihkan rumah untuk menyambut saya pulang?." "Adik kamu yang membersihkan. Dia pulang kemarin. Habis tangannya luka-luka." Aku melihat ke kamarnya. Cantik senyum adik. Kami berdakapan."sakit de?" aku bertanya tatkala memeriksa luka pada tangannya. "Tidak....Kak tahu, selama bekerja sebagai buruh kontrak, kerikil dan serpihan semen jatuh seperti hujan menimpa tubuh saya setiap saat. sakit yang saya rasakan tidak dapat menghentikan usaha saya untuk bekerja keras."Apalagi...aku hanya mampu menangis.

Aku menikah pada usia menginjak 27 tahun. Suamiku seorang usahawan menawarkan jabatan pengurus kepada adik. "Kalau adik terima jabatan itu, apa kata orang lain?" kata adik. "Adik tidak sekolah tinggi. Biarlah adik bekerja dengan kelulusan yang adik punya."Adik tidak sekolah pun karana kakak." kata ku. "Kenapa mengungkit kisah lama, kak?" katanya ringkas, mencoba menyembunyikan kesedihannya. Adik terus tinggal di kampung dan bekerja sebagai petani setelah ayah tiada.
Pada acara pernikahannya dengan seorang gadis sekampung, panitia acara bertanya, "Siapakah orang yang paling anda sayangi?" Spontan adik menjawab, "Selain ibu, kakak saya...." katanya lantas menceritakan suatu kisah yang sama sekali tidak ku ingati. "waktu sama-sama bersekolah SD dulu, setiap hari kami berjalan kaki ke sekolah. Suatu hari sepatu saya rusak. Melihat saya hanya memakai sebelah sepatu, kakak membuka sepatunya dan memberikannya pada saya. Dia berjalan dengan sebelah sepatu. Sampai di rumah saya lihat kakinya berdarah sebab menginjak batu dan ranting."Sejak itulah saya berjanji pada diri sendiri. Saya akan lakukan apa saja demi kebahagiaan kakak saya. Saya berjanji akan menjaganya sampai kapanpun." sebelum adik selesai bercerita, aku berlari ke pelaminan, memeluk adik sambil menangis sejadi jadinya.





Tuk Ibu, ade, kaka ku..ingin aku seperti anak dalam kisah ini..yang memberikan segalanya yang aku miliki, yang siap menjaga kalian sampai kapanpun...tapi apalah yang aku miliki..hanya sebatas do’a dan impian untuk kalian, tuk membahagiakan kalian, impian yang entah kapan akan terwujud..tapi berkat senyum, do’a dan kasih sayang kalian aku masih dapat bertahan sampai hari ini..tuk bunda maafkan nanda bunda yang selama ini selalu memendam amarah padamu, karena sangat membenci apa yang kalian lakukan pada ku dan adik-adikku.maafkan aku yang belum mampu untuk membahagiakanmu bunda. Tapi kini nanda sadar itu semua salah.maafkan nanda bunda
tuk adik ku tersayang..maafkan kaka yang belum mampu membahagiakan mu.tapi janji kaka tak akan pernah membiarkanmu merasakan apa yang tlah kaka rasakan.
tuk mba vivi dan mba indri terimakasih telah memberi tempat dalam hidup kalian berdua, hingga aku tak merasa kesepian lagi, dan tak pernah merasa takut lagi. sugguh anugerah terbesar dalam hidup ku..terimakasih telah memberiku cahaya baru untuk terus melangkah menapaki kehidupan ini..terimakasih hanya itu yang mampu aku berikan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bloger yang baik akan meninggalkan komentar yang baik dan membangun...

terimakasih........

kategori

Kamis, 26 Januari 2012

Adik

Aku cuma punya seorang adik. Usianya tiga tahun lebih muda daripada aku. Suatu hari,
untuk ingin membeli sehelai sapu tangan yang menjadi keperluan anak gadis ketika itu, aku ambil 50 sen dari saku baju ayah.
Sore itu, setelah pulang dari sekolah - ayah memanggil kami berdua.
Dia meminta aku dan adik berdiri di tepi dinding. Aku bergetar melihat rotan yang panjangnya sedepa di tangan ayah.

"Siapa yang mengambil uang ayah?" tanya ayah bagai singa lapar. Aku langsung tidak berdaya malihat tatapan tajam mata ayah.
Kami berdua membisu, cuma tunduk memandang lantai.
"Baik, kalau tak ada yang mengaku, dua-duanya akan ayah pukul!" sambung ayah sambil mengangkat tangan untuk melepaskan pukulan pertamanya ke punggungku.
Tiba-tiba, adik menangkap tangan ayah dengan kedua belah tangannya sambil berkata,

"Saya yang ambil!" Belum sempat adik menarik nafas selepas mengungkapkan kata-kata itu,
ayunan dan pukulan silih berganti menghantam tubuh adik. Aku gamam, lidah kelu untuk bersuara.
Walau perit menahan sakit, setitis pun airmata adik tak tumpah.
Setelah puas melihat adik terjatuh di lantai, ayah berkata: "Kamu sudah mulai belajar mencuri di rumah sendiri.
Apa lagi perbuatan mu yang akan memalukan ayah di luar kelak?" Malam itu, ibu dan aku tak lepas-lepas memeluk adik.
tubuhnya kecilnya yang dipenuhi bekas-bekas pukulan kami obati.
Namun adik cukup tabah. Setetes pun air matanya tidak mengiringi kesakitan yang dia alami

Melihat keadaan itu, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya, kesal dengan sikap ku yang takut berkata benar.
Adik segera menutup mulutku dengan kedua belah tangannya lalu berkata,
"Jangan menangis kak, semuanya sudah berakhir!". Aku mengutuk diri sendiri karana tidak mampu membela adik.

Tahun bersilih ganti, peristiwa adik dipukul karana mempertahankan ku bagaikan baru semalam berlaku. Adik mendapat tawaran belajar ke sekolah berasrama dan aku pun ditawarkan melanjtkna sekolah ke universitas. Malam itu ayah duduk di bawah cahaya lampu minyak tanah bersama ibu di ruang tamu. Aku mendengar ayah berkata, "bu, kedua anak kita cemerlang dalam pelajaran. ayah bangga sekali!" "Tapi apalah artinya yah...!" aku mendengar ibu teresak-esak. "Dimana kita mau cari uang untuk membiayai mereka?"

Ketika itulah adik keluar dari kamarnya. Dia berdiri di depan ayah dan ibu. "Ayah, saya tak mau ke sekolah lagi!" Perlahan-lahan ayah bangun, membetulkan ikatan kain sarungnya dan melihat wajah ibu, kemudian wajah adik dalam-dalam. Plaaaak....sebuah tamparan mendarat di pipi adik. Seperti biasa yang mampu aku lakukan ialah menutup muka dan menangis."Kenapa kamu ini?kau tahu, kalau ayah terpaksa mengemis untuk sekolah mu, ayah akan lakukan!" "seorang lelaki harus bersekolah. Kalau tidak, dia takkan dapat membawa keluarganya keluar dari kemiskinan," aku memeluk adik tatkala mengolesi minyak pada pipinya yang bengkak. "Kakak perempuan...biarlah kakak yang berhenti."
Tak ada yang menyangka, pagi harinya adik tak ada dikamarnya. Dia membawa beberapa helai baju lusuh yang dia punya. Diatas kasur tempat dia memejamkan mata, terdapat sehelai kertas yang tertulis..... "Kak...untuk dapat peluang ke universitas tidaklah mudah. Saya akan cari kerja dan akan kirim uang buat kakak." Apa lagi yang saya tahu selain menangis. Ayah termenung, jelas dia cukup kecewa. Begitu juga ibu yang hanya mampu menangis.

Suatu pagi ketika berada di asrama, teman sekamar berkata: "Ada pemuda kampung menunggu kamu diluar!" "Pemuda kampung?" bisikku. "Siapa?" Tergesa-gesa aku keluar kamar. Dari jauh aku melihat adik berdiri dengan pakaian comotnya yang dipenuhi lumpur dan semen. "Kenapa bilang orang kampung, bilanglah adik yang datang!" Sambil tersenyum dia menjawab, "Akak lihatlah pakaian adik. Apa yang akan teman-teman kakak bilang kalau mereka tahu saya adik kakak?" Jantungku terasa berhenti berdenyut mendengarkan jawabannya. Aku cukup tersentuh. Tanpa sadar, air jernih mengalir di pipi. Aku kibas-kibas pasir dan tumpukan semen pada pakaian adik. Dalam suara antara dengar dan tidak, aku berkata, "kakak tak peduli apapun yang orang lain bilang." Dari dari kantongnya, adik mengeluarkan jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Dia mengenakan pada rambutku sambil berkata, "Kak, saya lihat banyak gadis pakai jepit seperti ini, saya beli satu untuk kakak." Aku kaku. Sepatah kata pun tak terucap. Aku rangkul adik dan dadanya dibasahi air mataku yang tak dapat ditahan-tahan.

Tamat semester, aku pulang ke kampung sementara menunggu pengumuman. Aku lihat lantai dan dinding rumah bersih, tak seperti dulu. "Emak, tak cape kerja terus membersihkan rumah untuk menyambut saya pulang?." "Adik kamu yang membersihkan. Dia pulang kemarin. Habis tangannya luka-luka." Aku melihat ke kamarnya. Cantik senyum adik. Kami berdakapan."sakit de?" aku bertanya tatkala memeriksa luka pada tangannya. "Tidak....Kak tahu, selama bekerja sebagai buruh kontrak, kerikil dan serpihan semen jatuh seperti hujan menimpa tubuh saya setiap saat. sakit yang saya rasakan tidak dapat menghentikan usaha saya untuk bekerja keras."Apalagi...aku hanya mampu menangis.

Aku menikah pada usia menginjak 27 tahun. Suamiku seorang usahawan menawarkan jabatan pengurus kepada adik. "Kalau adik terima jabatan itu, apa kata orang lain?" kata adik. "Adik tidak sekolah tinggi. Biarlah adik bekerja dengan kelulusan yang adik punya."Adik tidak sekolah pun karana kakak." kata ku. "Kenapa mengungkit kisah lama, kak?" katanya ringkas, mencoba menyembunyikan kesedihannya. Adik terus tinggal di kampung dan bekerja sebagai petani setelah ayah tiada.
Pada acara pernikahannya dengan seorang gadis sekampung, panitia acara bertanya, "Siapakah orang yang paling anda sayangi?" Spontan adik menjawab, "Selain ibu, kakak saya...." katanya lantas menceritakan suatu kisah yang sama sekali tidak ku ingati. "waktu sama-sama bersekolah SD dulu, setiap hari kami berjalan kaki ke sekolah. Suatu hari sepatu saya rusak. Melihat saya hanya memakai sebelah sepatu, kakak membuka sepatunya dan memberikannya pada saya. Dia berjalan dengan sebelah sepatu. Sampai di rumah saya lihat kakinya berdarah sebab menginjak batu dan ranting."Sejak itulah saya berjanji pada diri sendiri. Saya akan lakukan apa saja demi kebahagiaan kakak saya. Saya berjanji akan menjaganya sampai kapanpun." sebelum adik selesai bercerita, aku berlari ke pelaminan, memeluk adik sambil menangis sejadi jadinya.





Tuk Ibu, ade, kaka ku..ingin aku seperti anak dalam kisah ini..yang memberikan segalanya yang aku miliki, yang siap menjaga kalian sampai kapanpun...tapi apalah yang aku miliki..hanya sebatas do’a dan impian untuk kalian, tuk membahagiakan kalian, impian yang entah kapan akan terwujud..tapi berkat senyum, do’a dan kasih sayang kalian aku masih dapat bertahan sampai hari ini..tuk bunda maafkan nanda bunda yang selama ini selalu memendam amarah padamu, karena sangat membenci apa yang kalian lakukan pada ku dan adik-adikku.maafkan aku yang belum mampu untuk membahagiakanmu bunda. Tapi kini nanda sadar itu semua salah.maafkan nanda bunda
tuk adik ku tersayang..maafkan kaka yang belum mampu membahagiakan mu.tapi janji kaka tak akan pernah membiarkanmu merasakan apa yang tlah kaka rasakan.
tuk mba vivi dan mba indri terimakasih telah memberi tempat dalam hidup kalian berdua, hingga aku tak merasa kesepian lagi, dan tak pernah merasa takut lagi. sugguh anugerah terbesar dalam hidup ku..terimakasih telah memberiku cahaya baru untuk terus melangkah menapaki kehidupan ini..terimakasih hanya itu yang mampu aku berikan....

 
By : Dhewi | RENUNGAN